Buku Tamu, leave your comment here!!

Kamis, 28 April 2011

Menemukan Indonesia Menemukan Bangsa

INDONESIA adalah bangsa yang muncul dan terbentuk melalui dialog. Sebagai bangsa, Indonesia benar-benar merupakan entitas baru, bukan sekadar pelanjut kisah kerajaan-kerajaan yang ada di masa lalu. "Kita selalu membayangkan diri pernah bersatu pada zaman Majapahit, Sriwijaya. Siapa bilang?" kata ahli sejarah Anhar Gonggong, suatu kali.

Menurut Anhar, kata Indonesia sendiri adalah sesuatu yang baru, yang terformulasikan melalui dialog yang sangat panjang. Sebelum 1900, bangsa yang bernama Indonesia nyaris tak ada. Padahal, penduduk kawasan yang kelak bernama Indonesia ini, dalam keadaan terpecah belah, telah lama berjuang melawan imperialis Belanda dengan segenap kekuatan.

Telah ada berbagai perang selama ratusan tahun. Tapi, tak ada yang bisa mengakhiri penjajahan. "Kemenangan" baru datang setelah pada 1945, bangsa ini merampungkan dialog dan merumuskan diri dalam bentuk baru. Kemenangan muncul ketika para pemimpin pergerakan mampu memberi pencerahan kepada warga kawasan ini untuk mengenali diri mereka sebagai bangsa baru, Indonesia.

Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia --tanda lahirnya negara sekaligus bangsa Indonesia-- pada 17 Agustus 1945. Tapi, sebelum sampai menjadi nama dan identitas bangsa Indonesia, kata "Indonesia" telah menempuh perjalanan panjang. Penelitian, misalnya, menunjukkan, istilah "Indonesia" telah ditemukan dan muncul pada 1850.

Kata "Indonesia" muncul pertama kali dalam tulisan James Richardson Logan, seorang ahli hukum kelahiran Skotlandia yang tinggal di Penang, "The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders". Tulisan itu muncul dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asian jilid 4, tahun 1850, halaman 252-347.

Dalam artikelnya itu, James Richardson Logan menolak istilah "Indu-nesians" dan "Melayu-nesians", yang digunakan George Samuel Windsor Earl untuk menyebut penduduk Kepulauan Malayan. "... saya lebih menyukai istilah geografis yang lebih murni: Indonesia, yang merupakan sinonim pendek dari Kepulauan Hindia," tulisnya.

Sebelumnya, wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia ini memiliki beragam nama. Dalam kitab Jataka, manuskrip kuno India, kawasan ini disebut dengan nama Suvannabhumi (tanah emas). Sementara dalam kitab Ramayana, ia disebut sebagai Yavadvipa (tanah perak dan emas) dan juga Suvarnadvipa (tanah emas).

Tak hanya di India, negeri yang kelak bernama Indonesia ini pun sudah muncul dalam literatur kuno bangsa-bangsa Eropa. Kepulauan ini muncul pertama kali dalam buku navigasi Periplous tes Erythras yang ditulis Strabo dan Plinius. Juga muncul dalam buku Geographike Hyphegesis karya Claudius Ptolomaeus yang terbit pada 2 Masehi.

Buku terakhir ini mencatat tempat bernama Argryre Chora (Negeri Perak), Chryse Chore (Negeri Emas), Chryse Chersonesos (Semenanjung Emas). Dalam buku yang sama, tersebut pula istilah Iabadiou (iaba = yawa, dan diou = dvipa = pulau). Istilah "iaba" ini sangat mirip dengan istilah "yawa" yang ditemukan pada prasasti Cangal, Jawa Tengah.

Antara 320 dan 455 Masehi, literatur kuno Hindu menggunakan istilah Dvipantara untuk menamai kawasan yang kelak dikenal sebagai Indonesia ini. Dvipa berarti kepulauan. Jadi, Dvipantara berarti kepulauan yang berada di antara anak benua India dan Cina. Pada masa terpaan pengaruh India yang besar di Jawa, Dvipantara diterjemahkan menjadi Nusantara.

Istilah ini sebenarnya cukup populer. Kitab Sejarah Malaya, misalnya, menyebut kawasan ini dengan Nusa Tamara. Sementara Manuel Elgodinho de Eredia, kartografer terkemuka Portugis, menggunakan nama Nusantara dalam peta dunia yang diterbitkannya pada 1601. Tetapi, secara politis, istilah ini kemudian harus memberi tempat bagi istilah "Indonesia".

Sejak makin dipopulerkan oleh Profesor Adolf Bastian dari Universitas Berlin dalam Indonesien oder die Inseln des Malayichen Archipels (1884), istilah Indonesia menjadi pilihan para intelektual untuk menggantikan "Hindia Belanda". Indische Vereeniging mengklaim sebagai organisasi pertama yang menggunakan kata Indonesia dalam pengertian politik setelah berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging pada 1908.

Perlahan-lahan, kata Indonesia mulai menjadi pilihan identitas diri bagi warga negeri jajahan Belanda di Nusantara. Pada November 1917, nama Indonesia, misalnya, telah dipakai oleh organisasi pelajar atau mahasiswa Indonesia, peranakan Tionghoa, Indo-Belanda yang belajar di Belanda, Indonesisch Verbond van Studerenden.

Setahun kemudian, Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indonesisch Persbureau, sewaktu ia dibuang ke Den Haag. Kegiatan kantor berita ini adalah menerbitkan brosur, monograf, dan mengadakan ceramah. Pemakaian "Indonesia" sebagai pengganti istilah "Hindia Belanda" diformulasi secara tegas oleh Soewardi Soerjaningrat pada peringatan ke-10 Budi Utomo di Amsterdam, Mei 1918.

Sejak itu, pemakaian "Indonesia" sebagai penanda sebuah bangsa tak lagi bisa dibendung. Pada 1926, Mohammad Hatta selaku Ketua Perhimpunan Indonesia (organisasi yang sebelumnya bernama Indonesische Vereeniging) memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tujuannya, antara lain, memperkenalkan nama "Indonesia".

Tanpa banyak penentangan, "Indonesia" secara resmi diakui oleh Kongres. Artinya, sejak saat itu, nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda telah benar-benar dikenal di kalangan organisasi internasional. Tapi, proses menumbuhkan kesadaran akan "Indonesia" adalah proses yang lebih dalam dari sekadar munculnya pengakuan internasional.

Boleh jadi, tak ada yang lebih tepat dari Soekarno dalam menggambarkan proses pencarian penduduk Nusantara yang menemukan "Indonesia" sebagai nama diri yang indah:

"Ketika kami merasakan perlunya menggabungkan pulau-pulau kami menjadi satu kesatuan yang besar, kami berpegang teguh pada nama ini dan mengisinya dengan pengertian-pengertian politik hingga ia pun menjadi pembimbing dari kepribadian nasional kami.... Bila mendengar anak-anak tertawa, aku mendengar Indonesia. Manakala aku menghirup harum bunga-bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air bagiku."

Tetapi kini, 59 tahun sejak bangsa Indonesia lahir, masihkan "Indonesia" bisa dimaknai seindah itu? Bukankah tak lagi bisa dimungkiri bahwa setelah merdeka, bangsa ini menjalani berbagai proses yang mencabik-cabik makna Indonesia. Untuk apa orang Aceh menjadi Indonesia kalau terus digebuk? Untuk apa menjadi Indonesia kalau terus dimiskinkan? Untuk apa?

Perlahan, kata Indonesia mengalami pemaknaan baru. Indonesia menjadi wakil sesuatu yang "kalah, lesu, dan kuyu". Tetapi, benarkah tak ada lagi peluang untuk memberi makna lain bagi Indonesia masa kini? Begitu sulitkah "Indonesia" dimaknai sebagai kata yang menggambarkan "kerja keras, tekad baja, ketekunan, dedikasi, prestasi, dan keunggulan"?

Bukankah di masa lalu, bangsa yang sekarang menyebut diri sebagai Indonesia pernah memiliki La Galigo? Bukankah karya sastra terpanjang dalam sejarah manusia itu bahkan punya kompleksitas alur cerita dan dunia mitologi yang lebih kaya dari Mahabharata sekalipun? Bukankah temuan tempe yang tampak sederhana itu menyimpan terobosan ilmu yang luar biasa?

Kami percaya, selalu ada alasan untuk berbangga pada Indonesia. Kalaupun selintas tak tampak benar wujud alasan itu, adalah tugas kita bersama untuk menemukannya. Karena itu, Gatra mendedikasikan edisi khusus kali ini sebagai upaya "menemukan Indonesia" lewat berbagai temuan dan terobosan yang dihasilkan warga bangsa ini.

Secara sederhana, edisi khusus kali ini dibagi menjadi beberapa bagian:

Bagian pertama kami beri tajuk "Mutiara Nusantara". Pada bagian ini, termuat kisah-kisah para penemu kontemporer Indonesia di berbagai bidang. Penulisan pada bagian "Mutiara" ini dilakukan dengan menelaah temuan atau produk yang punya terobosan bertaraf internasional, serta terasa manfaatnya hingga kini.

Pada bagian ini dikelompokkan temuan seperti teknologi Sosrobahu dan Cakar Ayam (keduanya bidang konstruksi). Lalu juga ada temuan-temuan berharga B.J. Habibie di bidang teknologi kedirgantaraan. Lalu ada temuan pil kina, juga vitamin B oleh Eijkman, sterilisasi teh (botol), dan juga teknologi telepon satelit PSN temuan Adiwoso Adiwarsito.

Bagian kedua adalah "Asli Indonesia". Bagian ini akan memaparkan aneka bentuk kreativitas manusia Indonesia yang berhubungan dengan tradisi dan budaya yang kemudian melegenda dan diakui dunia internasional. Bentuknya beraneka macam. Bisa berupa makanan, karya seni, obat tradisional, atau tradisi yang membudaya dalam menekuni pekerjaan.

Bentuk kreativitas melegenda yang ditulis dalam bagian ini, antara lain, tempe (makanan), jamu (obat tradisional), rokok kretek, kolintang, sasando, angklung, congklak, keroncong, wayang kulit (karya seni), batik, songket, dan ulos (budaya tenun). Dan terakhir yang tak bisa ditinggalkan adalah temuan jenius irigasi subak, sistem pengairan sawah di Bali.

Bagian berikutnya diberi nama "Spirit Indonesia". Sesuai dengan namanya, bagian ini lebih banyak mencatat temuan asli Indonesia yang mungkin lebih banyak sudah menjadi sejarah. Tapi, temuan-temuan itu hingga kini tetap menjadi sumber inspirasi dan energi hidup luar biasa bagi bangsa ini. Yang masuk di kategori ini antara lain La Galigo, perahu jung, pinisi, Borobudur, dan pencak silat.

Bagian keempat adalah "Inovasi Indonesia". Pada bagian ini ditulis temuan-temuan yang sifatnya sederhana, teknologi tepat guna yang banyak dipakai masyarakat dan terbukti manfaatnya. Yang termasuk kategori ini antara lain mesin perontok padi, audio mini, konstruksi rel, implan gigi, alat peracik obat, dan beberapa temuan lain.

Bagian terakhir adalah "Riset Indonesia". Bagian ini bercerita tentang lembaga-lembaga riset dan hasil karya para penelitinya. Lewat tulisan ini, kami ingin menyampaikan bahwa meski pemulihan ekonomi belum selesai, ada ribuan orang Indonesia yang tetap tekun melakukan riset di laboratorium, sawah dan ladang, di depan komputer, hingga di atas rel kereta api.

Kami ingin mengatakan bahwa dengan caranya sendiri, para peneliti ini telah memberi makna "kerja keras, tekad baja, ketekunan, dedikasi, prestasi, dan keunggulan" pada kata "Indonesia". Semoga, edisi khusus ini bisa menjadi sumbangsih kecil dalam dialog panjang untuk menemukan Indonesia yang bersama-sama kita banggakan.

0 komentar:

Posting Komentar

Bagi Para Pengunjung yang tidak memiliki account di mana pun, baik itu di google, wordpress atau yang lainnya, silahkan pilih ANONYMOUS untuk memberi komentar, harap menyertakan nama atau email! Thanks....

COMMENTS

free counters

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More